Ayah, Anak & Keledai

Oleh Budi S

SUATU hari seorang ayah mengajak anaknya pergi ke luar kota untuk berdagang. Dia percaya bahwa pendidikan terbaik adalah gabungan teori dan praktik sekaligus. Oleh karenanya ia menginginkan agar sejak dini anaknya mengerti apa yang dikerjakan ayahnya, sehingga kelak pada saatnya, sang anak bisa meneruskan usaha orangtuanya.


Hal lain yang ingin diraih adalah agar sang anak tahu betapa keras perjuangan Sang Ayah. Dari sini ia akan mendapatkan dua pelajaran sekaligus. Pertama respek terhadap orangtua. Kedua mengerti bahwa mencari nafkah tidaklah mudah, sehingga ia akan menghargai jerih payah kedua orang tuanya, hidup lebih bertanggung jawab dan tidak berfoya-foya.
Karena sang keledai bertubuh kecil, sang ayah mengalah pada putranya. Ia rela berjalan kaki sambil menuntun keledai yang juga dimuati makanan cukup banyak sebagai bekal di perjalanan. Selang beberapa lama, mereka berpapasan serombongan orang yang lantas berbisik-bisik membicarakan mereka. Seorang di antaranya berkata. “Kasihan benar si ayah. Sudah tua masih harus berjalan kaki. Sementara anaknya yang jauh lebih muda benar-benar tidak tahu diri. Seharusnya ia berjalan dan rnerelakan ayahnya naik keledai. Sungguh malang nasib si ayah mempunyai anak yang tidak berbakti.”
Mendengar celotehan ini Sang Anak merasa malu. Ia pun meminta ayahnya naik keledai dan giliran ia yang berjalan kaki. Perjalanan pun terus dilanjutkan. Tak berapa lama mereka bertemu serombongan orang yang berbeda. Pandangan mata mereka aneh dan penuh tanya. Ketika hampir berpapasan, mereka masih sempat mendengar ucapan seseorang yang mengatakan. “Benar-benar orangtua yang jahat. Anak sekecil itu disuruh berjalan kaki diterik matahari, sementara ia enak-enak menunggang keledai tanpa merasa bersalah sedikit pun!”
Mendengar ucapan tersebut, anak dan ayah saling berpandangan mata. Mereka bingung sejenak mendengar dua pandangan yang kontras berbeda. Lantas Sang Ayah pun dengan sigap menarik anaknya naik ke punggung keledai bersama-sama. Kini kedua ayah dan anak itu naik keledai berboncengan dan meneruskan perjalanan menuju kota.
Tak lama kemudian mereka berjumpa dengan rombongan ketiga. Dari jauh mereka sudah mendengar umpatan-umpatan. “Sungguh manusia yang jahat dan tidak punya rasa kasihan.
Keledai sekecil dan sekurus itu harus ditunggangi dua orang yang berbadan cukup besar. Belum lagi masih ditambah beban yang cukup berat. Benar-benar manusia yang tidak punya perasaan kasihan sedikit pun. Coba saja kalau dia yang menjadi keledai, baru sebentar pasti sudah minta ampun.”
Mendengar hal itu, ayah dan anak itu kembali menjadi bingung. Serba salah. Begini salah, begitu keliru. Akhirnya sambil menghela nafas panjang, keduanya turun dari punggung keledai dan berjalan beriringan di samping keledai. Meski harus berjalan di terik matahari yang ganas, mereka memaksa diri untuk terus berjalan tanpa henti.
Kala pikiran mereka sedang menerawang sambil berjalan, tiba-tiba keduanya dikagetkan oleh tawa cekikikan serombongan orang yang melewati mereka. “Bapak dan anak ini sungguh gila. Punya keledai tidak dinaiki, malah dituntun. Kenapa keledainya tidak digendong saja sekalian? Benar-benar ada orang yang sedemikian bodohnya di dunia ini. Sungguh mereka jauh lebih bodoh dari si keledai.”
Kali ini sang ayah tidak lagi bingung. Dengan tangannya yang kuat anaknya dinaikkan ke punggung keledai. Sebelum Sang Anak protes, ayahnya berkata; “Hidup haruslah punya pendirian. Telinga memang berfungsi untuk mendengar. Tapi otak kita bertugas menyaring semua yang tertangkap oleh panca indra kita, termasuk oleh pendengaran. Sementara hati kita punya tugas untuk menimbang, merasakan mana yang tepat dan benar, mana yang tidak. Dari awal kita telah melakukan kekeliruan, hanya menggunakan telinga untuk mendengar. Kita membiarkan otak dan hati kita diam tak berfungsi. Kita membiarkan diri kita dipermainkan keadaan yang datang dari luar diri kita. Itu tidak boleh terjadi lagi anakku. Kita harus bersikap, punya pendirian dan berani mempertahankan pendirian kita dengan segala konsekuensinya. Kamu masih kecil, kamulah yang lebih layak menaiki keledai. Saat ini ayahmu masih kuat. Nanti pada saatnya tiba, gantian ayahmu yang harus kamu rawat dan kamu jaga. Itulah kehidupan.”
Meski masih kecil, sang anak rupanya cukup cerdas mendengarkan wejangan Sang Ayah. Di dalam hatinya kini tertanam tiga hal penting. Pertama rasa hormat dan hutang budi atas kasih sayang Sang Ayah. Kedua ia sadar bahwa dalam hidup orang harus memilih, bersikap, punya prinsip dan pendirian. Ketiga sudut pandang orang per orang amatlah beragam, berbeda-beda dan bahkan acapkali saling bertentangan. Tiada yang mutlak benar, tiada yang mutlak salah. Mengikuti semua pendapat akan menyesatkan. Memilih salah satu, belum tentu benar. Tapi itulah risiko. Orang besar, pemimpin, harus berani mengambil risiko. Tentu dengan perhitungan dan pertimbangan yang matang. Ia lantas ingat nasihat Sang Ayah sebelumnya: di mana ada Yin, di situ ada Yang. Demikian pula sebaliknya.
Tanpa terasa keduanya kini tersenyum. Tanpa Beban.

Sumber : pkn-cmgs.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar